Senin, 12 September 2016

kawin lari

 Uniknya Kawin Lari


     Melangsungkan pernikahan tak akan pernah lepas dari kekhasan dan pengaruh budaya yang dianut sebuah masyarakat. Tak terkecuali juga pada Suku Sasak. Untuk meminang wanita dari Suku Sasak, sang pria harus membawa lari dan menyembunyikan dulu calon istri mereka sebelum disahkan dalam ikatan perkawinan.
Salah satu warga Suku Sasak dari Desa Sade, Dimin, mengatakan tradisi 'kawin lari' ini sudah berlangsung sejak lama. Sang pria, Dimin mengatakan, harus melarikan gadis yang akan dinikahi tanpa sepengetahuan keluarga calon mempelai wanita. Akan tetapi, saat melarikan calon istrinya, sang pria tetap harus ditemani dengan kerabat atau teman sebagai saksi.
Saat disembunyikan, sang gadis juga tidak boleh disembunyikan langsung di rumah pria yang akan menikahinya. Akan tetapi, calon mempelai wanita tersebut harus 'dititipkan' di rumah kerabat dari sang pria. Dimin mengatakan, sang gadis akan disembunyikan setidaknya satu atau dua malam. 
Setelah itu, utusan dari keluarga laki-laki akan mendatangi kediaman si calon mempelai wanita. Mereka akan memberitahu keluarga sang wanita untuk menyatakan lamaran dari sang pria.
    
    Meski pernikahan anggota Suku Sasak dilakukan secara adat, tali pernikahan pasangan suami dan istri tetap dilakukan sesuai tata cara keagamaan. Dimin mengatakan, Suku Sasak di Desa Sade mayoritas menganut agama Islam, sehingga pernikahan sepasang suami dan istri akan disahkan melalui ijab kabul di masjid yang berada di dalam Desa Sade. Uang mahar yang diberikan sebesar Rp 20 ribu. 

    Penduduk Desa Sade sejauh ini belum pernah ada yang melangsungkan pernikahan dengan orang di luar Desa Sade. Para pasangan suami istri dari desa yang dihuni sekitar 700 orang ini, masih memiliki hubungan sepupu satu sama lain.
Setelah menikah, pasangan pengantin baru biasanya akan membangun sendiri rumah kecil mereka, yang dinamakan Bale Kodong kecil. Setelah menjalin pernikahan cukup lama, secara bertahap pengantin baru bisa pindah dan membangun rumah baru yang cukup besar yang biasa disebut dengan Bale Tani oleh Suku Sasak.

sumber:http://gayahidup.republika.co.id/berita/gaya-hidup/travelling/16/01/25/o1htat384-uniknya-kawin-lari-ala-suku-sasak

kehidupan desa sade

 Berikut beragam kehidupan masyarakat Desa Sade

   1. Agama
Dahulu kala, agama Islam yang dijalankan oleh suku Sasak sedikit berbeda dengan ajaran agama Islam secara umum. Agama Islam mereka masih terpengaruh agama Budha dan Hindu. Namun, saat ini penduduk Desa Sade telah menjalankan sholat lima waktu.

    2. Tradisi di dalam pernikahan
Terdapat sebuah tradisi unik sebelum seorang pria melamar wanita yang menjadi buah hatinya. Calon pengantin pria akan menculik sang buah hati pada malam hari. Wanita tersebut akan dipulangkan ke rumah orang tuanya pada esok pagi atau setelah beberapa hari untuk dilamar.
Tradisi ini adalah sesuatu hal yang romantis bagi mereka yang saling mencintai. Namun, jika sang wanita tidak mencintai si penculik, maka itu adalah sebuah kesedihan baginya.
Orang tua perempuan tidak bisa menolak lamaran sang penculik, karena jika ditolak akan berakibat buruk bagi sang putri dimana di kemudian hari tidak ada laki-laki yang mau melamarnya.


   3. Keahlian dalam menenun
Berdasarkan pada aturan masa lalu, seorang gadis belum boleh menikah jika tidak bisa menenun. Keahlian dalam menenun merupakan simbol kemandirian dimana seorang wanita siap untuk berumah tangga.
Akan tetapi, saat ini peraturan tersebut tidak berlaku. Seorang wanita yang telah berumur 17 tahun dianggap telah siap untuk menikah.
Untuk membuat selembar kain songket khas Lombok, dibutuhkan waktu antara 1 minggu sampai dengan 1 bulan. Lamanya waktu tergantung dari warna, kerumitan corak, dan ukuran dari songket tersebut.



Alat yang digunakan masih manual dan terbuat dari kayu. Bahkan, benang yang akan dipakai adalah hasil dari proses pemintalan kapas dan dilakukan sendiri oleh mereka dengan menggunakan alat pintal kayu sederhana.
Pewarnaan pada benang berasal dari aneka tumbuhan seperti warna biru dari buah mangkudu dan warna kuning dihasilkan dari kunyit.
Di kawasan wisata ini, Anda juga berkesempatan untuk belajar menenun kain.

   4. Mata Pencaharian
Mayoritas kaum laki-laki Desa Sade berprofesi sebagai petani atau bekerja di luar desa, sedangkan kaum perempuan akan membantu mencari nafkah dengan cara menenun, baik itu tenun songket ataupun tenun ikat.
Harga dari kain ini begitu beragam yaitu antara Rp 50.000 hingga ratusan ribu rupiah. Harga tersebut tergantung dari tingkat kerumitan, warna, dan waktu yang dibutuhkan untuk membuatnya.
Selain itu, keahlian Anda dalam menawar harga juga sangat berpengaruh. Selama berada di Desa Sade, wisatawan dapat dengan mudah menjumpai hasil karya mereka yang dipajang di hampir setiap rumah.
Selain menenun, perempuan di Desa Sade juga membuat aneka assesoris wanita sepeti kalung, gelang, anting, dan juga cincin. Aneka assesoris ini begitu cantik dan kaya warna. 

   5. Kesenian khas Desa Sade
Beberapa kesenian khas Desa Sade antara lain kesenian Gendang Beleq, Tarian Oncer dan Peresehan. Pada zaman dahulu, kesenian Gendang Beleq sering dipertunjukkan di hadapan raja sebagai bentuk untuk mengantar pasukan yang akan berangkat ke medan perang.




Sedangkan Peresehan adalah tradisi perkelahian antara 2 orang pria dengan bersenjatakan tongkat rotan serta dilengkapi oleh perisai yang terbuat dari kulit sapi.
Tradisi Peresehan ini mirip dengan tradisi Mekare-kare (perang pandan) di Desa Tenganan Pegeringsingan Bali.

sumber: http://www.pergiberwisata.com/masyarakat-desa-sade/

Jumat, 02 September 2016

Desa Sade


 DESA SADE

         Dusun Sade atau Sade Village ini berada di Desa Rambitan, Kecamatan Pujut. Desa ini terletak di wilayah bagian selatan Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat - NTB. Jika anda ingin berkunjung atau menuju Pantai Kuta Lombok, maka anda akan melewati dan akan melihat Dusun Sade Lombok ini, karena Dusun Sade ini letaknya berada di pinggir jalan. Dusun Sade atau Sade Village ini adalah merupakan salah satu Desa Tradisional Sasak (suku asli Pulau Lombok) atau sebuah perkampungan suku Sasak asli yang masih mencoba mempertahankan dan menjaga keaslian sisa-sisa kebudayaan Sasak lama sejak zaman pemerintahan Kerajaan Pejanggik di Praya, Kabupaten Lombok Tengah sampai sekarang. Masyarakat yang tinggal di Dusun Sade Lombok ini adalah suku Sasak dengan sistim sosial dan kehidupan keseharian mereka yang masih sangat kental dan memegang teguh adat tradisi Sasak tempo dulu. Bahkan arsitektur rumah adat khas Sasak juga masih bisa anda lihat berdiri kokoh dan terawat dengan baik. Bangunan tradisional Sasak yang bisa anda temui di perkampungan Dusun Sade Lombok terdiri dari dua jenis yang disebut dengan Bale Tani dan Lumbung. Bale Tani adalah bangunan yang dipergunakan sebagai tempat tinggal, dan Lumbung adalah bangunan yang biasa digunakan sebagai tempat menyimpan padi, hasil panen atau untuk menyimpan segala kebutuhan. Rumah adat suku Sasak yang juga disebut Bale Tani ini terbuat dari kayu dengan dinding-dinding yang terbuat dari anyaman bambu dan beratapkan daun rumbia atau daun alang-alang kering. Lantai dari Bale Tani ini adalah campuran tanah, getah pohon dan abu jerami yang kemudian diolesi dengan kotoran kerbau. Bale Tani terbagi menjadi dua bagian yaitu Bale Dalam dan Bale Luar. Ruangan Bale Dalam biasanya diperuntukkan untuk anggota keluarga wanita, yang sekaligus merangkap sebagai dapur. Sedangkan ruangan Bale Luar diperuntukkan untuk anggota keluarga lainnya, dan juga berfungsi sebagai ruang tamu. Antara Bale Dalam dan Bale Luar ini dipisahkan dengan pintu geser dan anak tangga. Di dalam ruangan Bale Dalam ini terdapat dua buah tungku yang menyatu dengan lantai terbuat dari tanah liat yang digunakan untuk memasak. Masyarakat di perkampungan Dusun Sade Lombok ini biasanya memasak dengan menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya. Bale Dalam ini tidak memiliki jendela dan hanya memiliki satu buah pintu sebagai jalan untuk keluar-masuk yang hanya terletak di bagian depan bale.

Selain kain tenun ikat yang dikerjakan secara tradisional, benang untuk menenun pun biasanya dipersiapkan sendiri oleh suku Sasak dengan cara dipintal. Setelah selesai dipintal,benang pun ditenun sehingga menjadi kain tenun ikat dengan berbagai motif dan corak. Setelah puas melihat proses pembuatan kain tenun ikat dan proses pemintalan benang yang dikerjakan oleh warga setempat, kami pun melanjutkan berkeliling desa wisata ini. Sang pemandu pun menawarkan kami untuk singgah dan melihat ke dalam salah satu rumah yang ada di Desa Sade. Setelah meminta izin kepada pemilik rumah, kami pun masuk melalui pintu depan rumah yang ukurannya tidak seperti pintu rumah biasanya. Tinggi pintunya hampir setinggi ukuran dewasa malah mungkin lebih rendah lagi. Itu perkiraan saya ketika akan melangkah masuk ke dalam rumah. Pemandu pun mengingatkan kami untuk membungkukkan badan ketika melewati pintu depan rumah agar kepala tidak terbentur bagian atas pintu. Salah satu keunikan rumah di desa ini adalah pintu untuk keluar masuk rumah hanya ada 1 saja, yaitu dibagian depan rumah. 


Desa Sade juga memiliki balai pertemuan untuk warga desanya. Letaknya tidak jauh dari pintu gerbang desa. Bangunannya dirancang tanpa dinding dan terbuat dari kayu tersebut cukup asri. 



Bertani dan menenun 
     Pekerjaan masyarakat Sade ini mayoritas bertani, seperti padi dan sayur mayur. Kalau padi, tadah hujan dan hanya sekali tanam dalam setahun. “Cuma air dari hujan. Irigasi gak ada sama sekali. Sudah diupayakan tapi sulit.” Untuk tambahan pendapatan itulah, hampir semua warga menjadi perajin tenunan. Untuk benang tenun, warga membuat sendiri dengan memintal kapas. Tak hanya membuat benang sendiri, pewarnaan mereka juga menggunakan warna-warna alami dengan memanfaatkan tumbuhan atau tanaman sekitar. “Bikin dari kulit kayu, dedaunan atau tumbuhan lain. Kalau dari daun ambil yang masih muda lalu ambil karang, campurkan biar warna kuat. Misal, warna orange itu kapur sirih dengan kunyit. Dicampur jadi satu.”

Kawin culik 
  Perkampungan Sade ini berjumlah 700 jiwa, dengan satu rumpun keluarga. Dalam sistem perkawinan Suku Sasak, dikenal dengan kawin lari atau kawin culik. “Maksudnya, gak perlu dilamar. Yang penting si cowok sama gadis saling suka. Ambil diem-diem, lalu bawa kabur, lari.” Sang gadis lalu disembunyikan di rumah orang yang tak diketahui oleh orangtuanya. “Soalnya kalau ketahuan bakal diambil lagi.” Setelah itu, sang lelaki mengutarakan keinginan menikah kepada orangtua sang gadis. Proses terakhir, disebut nyongkolan, berupa iringan pengantin pria dan perempuan kembali ke rumah orangtua mempelai perempuan.Nanti, pasangan baru itu akan menempati rumah sementara atau bale kodong. “Bale itu rumah, kodong itu kecil. Artinya rumah kecil. Bali kodong ini rumah sementara waktu sebelum bisa membuat rumah lebih besar. Mereka akan menggunakan untuk bulan madu.”

   
  Akses ke desa ini cukup mudah. Dari pusat kota Mataram, Anda dapat menggunakan kendaraan umum maupun pribadi dengan tujuan langsung ke Desa Sade. Waktu tempuhnya sekitar satu setengah jam perjalanan. Sementara jika Anda berangkat dari Bandara Internasional Lombok, maka dapat langsung menggunakan taksi atau kendaraan pribadi dengan arah langsung menuju ke Desa Sade. Waktu tempuhnya sekitar 20 menit perjalanan.

sumber:(Sapariah Saturi/mongabay.co.id)